Kenapa praktik LGBT belum diatur dalam Peraturan Perundangan di Indonesia?

Kenapa praktik LGBT belum juga diatur didalam peraturan perundangan di Indoensia?


LGBT atau GLBT merupakan akronim dari “lesbian, gay, biseksual, dan transgender”. Ini istilah yang digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa “komunitas gay” karena istiah ini kerap mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan. 

Apakah LGBT dilarang dalam suatu  Agama di dunia? jawabannya adalah, agama Hindu, Buddha dan Konghucu tidak terlalu keras melarang adanya praktek homoseksual dan LGBT. Sedangkan di optik dari agama Kristen dan Islam adalah sangat keras melarang adanya praktek dari LGBT tersebut, bahkan dianggap sebagai suatu kejahatan dan dosa serta dikutuk oleh Tuhan dan seharusnya dihukum dengan hukuman mati. Namun apakah benar adanya praktik LGBT ini adalah perbuatan yang dosa dan diharuskan untuk dihukum mati?  Setiap pendapat adalah benar/salah menurut atau sesuai  dengan versi orang masing-masing. Sehingga ini hal yang sangat sulit bagi kita sebagai manusia untuk menemukan suatu kebenaran yang sesungguhnya.


Next…

Mahkamah Konstitusi Indonesia (MK) sudah jauh hari menyerukan agar DPR segera mengatur praktik LGBT didalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Seperti yang saat ini viral isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender LGBT yang menjadi sorotan publik luas dalam konten youtuber Dedy Corbuzer. Lima tahun yang lalu, Mahkamah Konstitusi sudah memerintahkan DPR untuk segera megatur LGBT dalam hukum positif Indonesia. Perintah tersebut dituangkan dalam Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 yang diketok pada tahun 2017. Putusan itu atas permohonan dari pemohon yang merupakan guru besar IPB Bogor, Prof Euis Sunarti dkk. Para pemohon meminta agar MK meluaskan makna zinah yaitu semua hubungan seks diluar pernikahan dikenai pidana. Termasuk pula hubungan antara sesama jenis agar diatur dalam KUHP. Salah satu alasan menggugat ke MK karena pemohon menilai RUU KUHP di DPR sangat lama. Bahkan sejak 50 tahun silam.

MK : “argumentasi bahwa proses pembentukan undang-undang memakan waktu lama tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi Mahkamah untuk mengambil-alih wewenang pembentuk undang-undang”.

Menghilangkan frasa tertentu dan/atau menambahkan pemaknaan baru terhadap suatu aturan hukum pidana, yang berarti mengubah pula sifat melawan hukum (wedderrechtelijkheid) perubahan itu, tanpa melakukan perbuatan atau penyesuaian dalam ancaman pidana (strafmaat) nya dan bentuk pengenaan pidana (stafmodus)nya tidaklah dapat diterima oleh penalaran hukum dalam merancang suatu aturan hukum pidana karena hal itu melekat pada jenis atau kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana atau tindak pidana (straatbarfeit) yang bersangkutan.

MK : “Bahwa dengan seluruh pertimbangan diatas bukanlah berarti Mahkamah Konstitusi menolak gagasan (pembaruan) para pemohon sebagaimana terceermin dalam dalil-dalil permohonannya. Bukan pula berarti Mahkamah berpendapat bahwa norma hukum pidana yang ada dalam KUHP, khususnya yang dimohonkan pengujian untuk permohonan a quo, sudah lengkap”.

Mahkamah hanya meyatakan bahwa norma pasal-pasal dalam KUHP yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Perihal perlu tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang melalui kebijakan pidana (Criminal Policy) yang merupakan bagian dari politik hukum pidana. Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan oleh para pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang dan hal tersebut seyogiyanya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru.

Putusan MK itu tidak bulat. Empat hakim konstitusi, Hakim konstitusi Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto menyatakan sebaliknya. Keempat memulai dengan pijakan argument bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara adalah sesuai dengan pembukaan UUD NRI 1945. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara serta sekaligus dasar filosofis Negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundag-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

MK : “Pasal 284 KUHP (perizinan-red) yang mengatur delik overspel pada hakikatnya sangat dipengaruhi filosofi dan paradigm sekuler-hedonistik yang menjadi hegemoni pembentukan aturan hukum di Eropa pada masa lampau yang tentunya sangat berbeda dengan kondisi sosiologis masyarakat di nusantara, baik secara historis jauh sebelum dilakukannya konkordansi Wetboek Van Starfrecht oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun dalam konteks kekinian di Negara Republik Indonesia”.

Ruang lingkup pasal 284 KUHP sejatinya hanya meliputi kriminalisasi dan penalisasi terhadap perbuatan overspel (Echtbreuk, de Schending van de huwelijkstrow/pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan). Sehingga sifat ketercelaan (verwijbaarheid) delik overspel sebagai persetubuhan diluar perkawinan dalam pasal 284 KUHP adalah hanya karena peruatan tersebut dianggap merusak kesucian dan keutuhan lembaga perkawinan. 

MK : “Paradigma dan filosofi sebagaimana dimaksud diatas jelas mempersempit, bertentangan, dan sama sekali tidak memberi tempat bagi nilai agama, sinar ketuhanan, serta nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia (living law) yang memandang bahwa sifat ketercelaan (verwijbaarheid) dari persetubuhan diluar perkawinan sejak dahulu dibumi nusantara sejatinya lebih luas, yakni termasuk juga karena perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai agama serta living law yang hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia dari dahulu hingga kini”.

Lalu bagaimana nasib KUHP di DPR kini? Pada oktober 2019 lalu, DPR mengesahkan RUU KUHP di tingkat I, termasuk didalamnya mengatur LGBT. Tapi RUU ini tak kunjung disahkan di tingkat II karena ditolak mahasiswa. Dan kini RUU itu mungkin teronggak di DPR.


Moga bermanfaat…




SC : Wikipedia and Detiknews.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

3 Strategi Pemasaran Digital Versi Tokopedia

Sistematika Hukum Kehutanan di Indonesia